Blogger news

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Senin, 16 Desember 2013

TROTOAR “ KOTA UNTUK MANUSIA


Berbicara tentang trotoar otomatis kita akan berbicara dan melibatkan banyak hal pula alias sangat komplek. Dari masalah pedagang kaki lima, parkir, pejalan kaki, kaum difable dan masih banyak lagi sehingga seharusnya dibuatkan sebuah rencana yang satu dengan yang lainnya seharusnya tidak saling mengganggu seperti yang sudah terjadi selama ini; yaitu trotoar sangat penuh dengan pedagang kaki lima, dimana diantaranya adalah pedagang makanan yang otomatis pula mengundang para pembeli yang menggunakan motor/mobil dimana disaat akan menikmati makananannya, mereka akan memarkir kendaraan mereka di sepanjang trotoar itu; dimana trotoar yang seharusnya difungsikan sebagai tempat para pejalan kaki dan kaum difable sudah tidak lagi menyediakan ruangnya, sehingga jalan satu-satunya para pejalan kaki dan kaum difable bila ingin melakukan perjalanannya harus turun kejalan dan bertarung dengan pengguna jalan raya yang terkenal sangat keras dan ganas bak berada di belantara rimba raya jalanan!
Solusi untuk hal ini memang tidak mudah, akan tetapi pemangku jabatan seharusnya bisa belajar dari pengalaman yang sudah dilakukan pendahulunya yang telah sukses memindah para pedadang dan melakukan hal yang sama pada pedagang-pedagang kaki lima di beberapa area / trotoar yang masih difungsikan sebagai tempat berdagang.
Satu hal yang harusnya dilakukan, bila ada satu pedagang memulai menggunakan ruas trtotoar untuk berjualan, sebaiknya segera disuruh pergi sebelum akhirnya yang lain ikut-ikut.
Sebuah catatan yang perlu digaris bawahi tentang niat baik bapak walikota yang justru menjadi hal yang kontraproduktif adalah pemberian pagar-pagar di sekitar / pinggir trotoar yang dimaksud agar tidak untuk parkir sepeda motor, dampaknya adalah sangat merugikan kaum difable pemakai kursi roda. Pernah terlihat bahwa ada dua orang lain yang harus menjunjung kursi roda tersebut karena pemakai kursi roda tersebut tidak bisa melakukannya sendiri dalam meneruskan perjalanannya. Nah pertanyaannya, apabila tidak ada yang menolong, pemakai kursi roda tersebut pasti jalan balik. Sungguh sangat kasihan sekali dan tidak manusiawi!
Inilah sebuah penyelesaian yang tidak pas. Harusnya penyelesaiannya adalah menindak dengan tegas pengendara motor yang parkir di trotoar tersebut dan bukan membuat pagar di trotoar sehingga menghalangi pengguna jalan yang lain yang notabene trotoar adalah dibuat “demi” kenyamanan pejalan kaki dan kaum difable.
Yang menjadikan perbedaan antara kota yang maju dan kota terbelakang adalah trotoar yang berkualitas. Mereka mempertunjukkan penghormatan pada harkat kemanusiaan. Di mana orang miskin dan orang kaya adalah sama, bertemu dan berjalan di trotoar yang sama. (Enrique Penalosa)Trotoar adalah sebuah sarana yang disediakan pemerintah untuk pejalan kaki. Karena pejalan kaki merupakan moda terlambat maka dia harus dipisahkan dari jalan raya yang notobene untuk kendaraan bermesin. Fasilitas ini merupakan keharusan bagi kota untuk warganya yang berjalan kaki. Terutama di area pusat pertokoan, hiburan, dan sekolahan. Dan trotoar yang baik mestinya terintegrasi dengan fasiltas transportasi public. Pendekatan budaya dinilai menjadi pendekatan penting untuk mewujudkan sebuah kota yang layak pejalan kaki. Sebab, pendekatan ini lebih menekankan komunikasi dalam masyarakat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut.
Kini terlihat buruknya fasilitas untuk pejalan kaki di Kota ini. ruang publik yang ada di masyarakat, seperti trotoar, makin tidak mengakomodasi kepentingan-kepentingan publik. Justru saat ini, kepentingan ekonomi justru menjadi kepentingan utama yang melanggar kepentingan publik.
Nilai-nilai sosial di masyarakat juga makin menurun seiring berkurangnya ruang publik. Nilai-nilai itu diantaranya, kebersamaan, tenggang rasa, dan saling menghargai. Ironisnya, nilai-nilai sosial itu sudah berbalik menjadi nilai personal seperti egois, tidak saling menghormati, atau pun tidak menyapa. Semestinya ketika berjalan trotoar, orang bisa saling bertegur sapa. Namun, ketika trotoar itu sudah diambil alih oleh kendaraan untuk lewat dan parikir dan juga banyaknya PKL, maka orang akan sewenang-wenang menggunakannya. konflik-konflik sudah mulai terjadi karena perebutan ruang publik untuk dijadikan ruang personal.
Terkait dengan bagaimana upaya mewujudkan Kota sebagai kota layak pejalan kaki, maka perlu adanya komunikasi yang baik dengan masyarakat. Persoalan seperti maraknya PKL atau meningkatnya jumlah transportasi bisa teratasi apabila semua pihak saling mengeluarkan aspirasinya. Komunikasi sesuai budaya masing masing tentu saja menjadi indikator keberhasilannya. Dalam konteks Yogyakarta misalnya, komunikasi dilakukan dengan mengedepankan seni dan budaya Jawa seperti tenggang rasa, ramah tamah, dan tepa slira.
Mengenai potret buruk keadaan trotoar di Kota ini, sebaiknya ada penataan ruang yang baik. Namun, penataan ruang ini tetap mengedepankan fungsi trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki tanpa mengesampingkan PKL yang berjualan. penataan trotoar di masing-masing wilayah berbeda sehingga perlu pemetaaan yang matang.

Kesimpulannya : untuk merubah kebiasaan kota untuk manusia ialah dari segi budaya antara sesama manusia dan pembuat kebijakan yang tepat .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar