Berbicara tentang trotoar otomatis kita akan berbicara dan
melibatkan banyak hal pula alias sangat komplek. Dari masalah pedagang kaki lima, parkir, pejalan kaki, kaum difable dan
masih banyak lagi sehingga seharusnya dibuatkan sebuah rencana yang satu dengan
yang lainnya seharusnya tidak saling mengganggu seperti yang sudah terjadi
selama ini; yaitu trotoar sangat penuh dengan pedagang kaki lima, dimana
diantaranya adalah pedagang makanan yang otomatis pula mengundang para pembeli
yang menggunakan motor/mobil dimana disaat akan menikmati makananannya, mereka
akan memarkir kendaraan mereka di sepanjang trotoar itu; dimana trotoar yang
seharusnya difungsikan sebagai tempat para pejalan kaki dan kaum difable sudah
tidak lagi menyediakan ruangnya, sehingga jalan satu-satunya para pejalan kaki
dan kaum difable bila ingin melakukan perjalanannya harus turun kejalan dan
bertarung dengan pengguna jalan raya yang terkenal sangat keras dan ganas bak
berada di belantara rimba raya jalanan!
Solusi untuk
hal ini memang tidak mudah, akan tetapi pemangku jabatan seharusnya bisa
belajar dari pengalaman yang sudah dilakukan pendahulunya yang telah sukses
memindah para pedadang dan melakukan hal yang sama pada pedagang-pedagang kaki
lima di beberapa area / trotoar yang masih difungsikan sebagai tempat
berdagang.
Satu hal yang harusnya dilakukan, bila ada satu pedagang memulai
menggunakan ruas trtotoar untuk berjualan, sebaiknya segera disuruh pergi
sebelum akhirnya yang lain ikut-ikut.
Sebuah catatan yang perlu digaris bawahi tentang niat baik bapak
walikota yang justru menjadi hal yang kontraproduktif adalah pemberian
pagar-pagar di sekitar / pinggir trotoar yang dimaksud agar tidak untuk parkir
sepeda motor, dampaknya adalah sangat merugikan kaum difable pemakai kursi
roda. Pernah terlihat bahwa ada dua orang lain yang harus menjunjung kursi roda
tersebut karena pemakai kursi roda tersebut tidak bisa melakukannya sendiri
dalam meneruskan perjalanannya. Nah pertanyaannya, apabila tidak ada yang
menolong, pemakai kursi roda tersebut pasti jalan balik. Sungguh sangat kasihan
sekali dan tidak manusiawi!
Inilah sebuah penyelesaian yang tidak pas. Harusnya
penyelesaiannya adalah menindak dengan tegas pengendara motor yang parkir di
trotoar tersebut dan bukan membuat pagar di trotoar sehingga menghalangi
pengguna jalan yang lain yang notabene trotoar adalah dibuat “demi” kenyamanan
pejalan kaki dan kaum difable.
Yang menjadikan perbedaan antara kota yang maju dan kota
terbelakang adalah trotoar yang berkualitas.
Mereka mempertunjukkan penghormatan pada harkat kemanusiaan. Di mana orang
miskin dan orang kaya adalah sama, bertemu dan berjalan di trotoar yang sama.
(Enrique Penalosa)Trotoar adalah sebuah sarana yang disediakan pemerintah untuk
pejalan kaki. Karena pejalan kaki merupakan moda terlambat maka dia harus
dipisahkan dari jalan raya yang notobene untuk kendaraan bermesin. Fasilitas
ini merupakan keharusan bagi kota untuk warganya yang berjalan kaki. Terutama
di area pusat pertokoan, hiburan, dan sekolahan. Dan trotoar yang baik mestinya
terintegrasi dengan fasiltas transportasi public. Pendekatan budaya dinilai
menjadi pendekatan penting untuk mewujudkan sebuah kota yang layak pejalan
kaki. Sebab, pendekatan ini lebih menekankan komunikasi dalam masyarakat sesuai
dengan nilai-nilai budaya yang dianut.
Kini terlihat buruknya fasilitas untuk pejalan kaki di Kota ini.
ruang publik yang ada di masyarakat, seperti trotoar, makin tidak mengakomodasi
kepentingan-kepentingan publik. Justru saat ini, kepentingan ekonomi justru
menjadi kepentingan utama yang melanggar kepentingan publik.
Nilai-nilai sosial di masyarakat juga makin menurun seiring
berkurangnya ruang publik. Nilai-nilai itu diantaranya, kebersamaan, tenggang
rasa, dan saling menghargai. Ironisnya, nilai-nilai sosial itu sudah berbalik
menjadi nilai personal seperti egois, tidak saling menghormati, atau pun tidak
menyapa. Semestinya ketika berjalan trotoar, orang bisa saling bertegur sapa.
Namun, ketika trotoar itu sudah diambil alih oleh kendaraan untuk lewat dan
parikir dan juga banyaknya PKL, maka orang akan sewenang-wenang menggunakannya.
konflik-konflik sudah mulai terjadi karena perebutan ruang publik untuk
dijadikan ruang personal.
Terkait dengan bagaimana upaya mewujudkan Kota sebagai kota
layak pejalan kaki, maka perlu adanya komunikasi yang baik dengan masyarakat.
Persoalan seperti maraknya PKL atau meningkatnya jumlah transportasi bisa
teratasi apabila semua pihak saling mengeluarkan aspirasinya. Komunikasi sesuai
budaya masing masing tentu saja menjadi indikator keberhasilannya. Dalam
konteks Yogyakarta misalnya, komunikasi dilakukan dengan mengedepankan seni dan
budaya Jawa seperti tenggang rasa, ramah tamah, dan tepa slira.
Mengenai potret buruk keadaan trotoar di Kota ini, sebaiknya ada
penataan ruang yang baik. Namun, penataan ruang ini tetap mengedepankan fungsi
trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki tanpa mengesampingkan PKL yang
berjualan. penataan trotoar di masing-masing wilayah berbeda sehingga perlu
pemetaaan yang matang.
Kesimpulannya : untuk merubah kebiasaan kota untuk manusia ialah dari segi budaya antara sesama manusia dan pembuat kebijakan yang tepat .
Kesimpulannya : untuk merubah kebiasaan kota untuk manusia ialah dari segi budaya antara sesama manusia dan pembuat kebijakan yang tepat .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar